Manajemen SP, Profesional-lah!
Ulasan Khas : N. Nofi Sastera*
Jika melihat kondisi saat itu mungkin tak satu pun yang menganggap hal itu tak mungkin. Sebab dengan manajemen baru yang dipimpin langsung oleh seorang Direktur jelas akan banyak kemudahan dari pengurusan tim dari sisi birokrasi. Tak salah pula jika budget dana yang tahun sebelumnya hanya sekitar Rp 3,5 milyar tiba-tiba-tiba meningkat drastis, khabarnya jadi Rp 8 M. Selain itu dikontraknya empat pemain asing plus peningkatan nilai salary pemain juga menunjukkan bahwa betapa pedulinya manajemen baru terhadap tim.
Tapi apa yang terjadi ketika kompetisi telah berlangsung? Manajemen yang semuanya nyaris serba baru memang tetap dengan komitmen awalnya, yakni sangat peduli dengan tim. Bahkan saking over pedulinya, sejumlah manajemen yang selama ini hanya jadi Pembina Tim, ikut langsung terjun ke lapangan memberi masukan. Saya percaya, apa yang dimaksudkan para petinggi PT. SP ini adalah baik. Mereka ingin berbuat dan memberi sesuatu yang mereka miliki untuk tim ini. Tapi, apakah hal ini bermanfaat atau justru sebaliknya, saya juga kurang tahu persis.
Yang terjadi di lapangan justru bertolak belakang dengan harapan yang ada. Tim terus menerus gagal, gagal dan gagal. Dari enam partai home, SP hanya satu kali menang, empat seri dan satu kalah. Sedang di enam partai away SP hanya satu seri dan enam kali kalah. Dengan hasil seperti itu tak heran bila berbagai kecaman bermunculan. Jangankan penonton awam yang hanya tahu dengan hasil akhir, para pakar sepakbola yang lebih jeli melihat masalah juga takkan mampu mencarikan pembelaan apa pun terhadap tim. Mungkin benar, terror penonton
Benar bahwa sebelum partai away melawan PSS manajemen SP sempat menambah tiga pemain lagi yakni gelandang Patricio Jimenez Diaz, stopper Rahman Firmansyah dan kiper Iswandi. Tapi ketika solusi itu juga tidak mengurangi masalah - karena masalah utamanya menurut saya memang bukan hanya itu – kenapa tak ada langkah berikut yang dilakukan manajemen SP? Kalau kemudian ada masyarakat awam yang menilai bahwa sikap ini sengaja dilakukan agar SP degradasi untuk kemudian dibubarkan, apakah itu salah?
Profesionalitas
Sebenarnya, yang harus sama-sama dipahami terlebih dahulu adalah bahwa tim SP ini adalah tim profesional. Sebagai tim profesional, ukuran utama yang dipakai pasti adalah prestasi. Artinya, dalam kesempatan apa pun, manajemen pasti akan melihat sesuatu dari sudut prestasi. Apakah dalam hal menetapkan berapa salary yang berhak diterima seorang pemain atau pun bahkan dalam melakukan pemecatan.
Artinya, kalau memang seseorang pemain, pelatih atau bahkan seorang manajer sudah dianggap tidak berprestasi lagi, berarti, ia sudah harus siap-siap untuk angkat kaki dari tim itu. Lihat saja beberapa contoh pada tim-tim professional di liga internasional maupun lokal. Tak usah melihat terlihat jauh, di Persija misalnya, sudah terjadi beberapa kali pergantian manajer. Mulai dari era Ahmadin Ahmad kepada Ronny Pangemanan. Bahkan di tahun dan kompetisi yang sama Ropan, sapaan Ronny Pangemanan, diganti lagi dengan IGK Manila. Di PSPS Pekanbaru juga pernah terjadi pergantian pelatih di tahun dan kompetisi yang sama. Ketika Sofyan Hadi dianggap tak lagi mampu mengangkat nasib tim, ia kemudian digantikan Jenniwardin. Berbagai contoh lain, saya rasa sudah banyak.
Kembali kepada tim SP, apakah SP juga memakai ukuran ini? Saya tidak tahu persis. Sebab sudah 12 kali pertandingan dengan hasil hanya 1 menang, 5 seri dan 6 kalah, tim SP masih itu ke itu saja. Jujur saja, saya di sini bukan bermaksud ingin mendikte manajemen SP untuk meminta pergantian pelatih, atau pergantian manajer. Tapi jika memang itu sudah harus – dalam arti kata sesuai prinsip dasar professional seperti disebut di atas – apa salahnya. Mungkin banyak yang ragu atau malah balik bertanya, apakah dengan pergantian itu akan menjamin prestasi lebih baik? Tapi jika memang itu pertanyaan, kita pun juga akan balik bertanya. Apakah kita akan terus berkutat dengan keragu-raguan seperti itu terus? Sementara posisi tim SP makin terus melorot dari pertandingan ke pertandingan.
Pelatih SP Suhatman Imam sendiri setahu saya bukanlah pelatih egois untuk terus mempertahankan kursinya. Sebab, seperti diungkapkannya di kamar ganti pemain usai SP ditahan Persijatim 1-1 di Agus Salim, ia siap untuk mengundurkan diri. “Saya ndak tahu apa yang terjadi di tim ini sekarang ini. Serangan banyak, tapi gol susah betul. Mungkin saya yang sial Nof. Karena itu, jika harus mundur dari tim ini, saya siap,” katanya memelas. Bahkan setelah itu saya lihat sendiri Suhatman juga sempat melontarkan niat mundurnya pada Pembina SP Ismet Yuzairi yang juga Komisaris Utama PT. SP. Tapi permintaan Suhatman saat itu ditolak secara halus.
Terlepas dari penolakan pengunduran dirinya, tampak bahwa sebenarnya Suhatman bukanlah type manusia yang ingin terus bertahan. Ia sadar bahwa sesuatu itu tak mungkin dipaksakan. Nah, jika sekarang ia terus dipaksakan manajemen untuk terus bertahan, masihkah kita akan menyalahkan Suhatman?
Sekali lagi saya justru melihat manajemen SP yang tidak professional dalam hal ini. Apa mungkin mereka tak punya ukuran profesional sebagaimana disebutkan di atas? Entahlah. Yang pasti waktu istirahat kompetisi selama Pemilu menurut saya adalah waktu yang sangat tepat bagi manajemen SP untuk menentukan sikap. Bahkan jika memang masih ragu, ndak ada salahnya diadakan diskusi dengan semua pihak yang peduli, semisal wartawan olahraga, para pakar sepakbola, atau mungkin juga bahkan dengan pengurus SP yang lama. Siapa tahu dari diskusi itu akan didapatkan sejumlah masukan yang berharga.
Bagaimana pun, kita semua termasuk pencandu sepakbola di Sumatera Barat ini tak ingin SP degradasi. Tinggal kini bagaimana manajemen menyikapi sikap masyarakat ini sebagai sebuah power yang besar untuk sama-sama membangun dan membesarkan SP. Karena itu mari bersikap professional dengan melupakan masa lalu. Sebaliknya kita tatap masa depan yang lebih baik. Ayo SP, kamu bisa! (Penulis adalah wartawan dan pengamat sepakbola)
Note : Dimuat Harian Pos Metro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar