21 Februari 2008

LEMKARI vs INKANAS = Ketua DPRD vs Gubernur?

Oleh : N. Nofi Sastera*

Judul di atas secara sepintas mungkin bisa dinilai berlebihan. Sebab masa hanya karena karate, dua tokoh utama Sumbar harus berlawanan sebagaimana bersiterunya Lemkari vs Inkanas. Tapi jangankan salahkan dulu judul di atas. Masyarakat awam – yang hanya melihat sesuatu berdasar apa yang tampak – justru melihat ada kebenaran dari judul di atas. Paling tidak, kedua tokoh utama Ranah Minang ini seperti sengaja dijadikan ikon utama persiteruan Lemkari dengan Inkanas.

Terbukti, mereka memang melihat dan membaca di berbagai media massa bahwa keduanya ikut menjadi tokoh utama dalam persiteruan Lemkari dengan Inkanas.

Persiteruan Lemkari dan Inkanas itu sendiri memang bukan hal asing lagi. Keduanya saling berlomba membuat kegiatan, meski sayangnya kegiatan itu cenderung terlihat kekurangan ide. Sebab – apa pun kegiatan yang dilakukan – motifnya nyaris sama. Sebagai contoh Inkanas mengadakan Gashuku Wilayah, Lemkari pun melaksanakannya. Inkanas mengadakan ujian kenaikan tingkat yang salah-satunya diikuti Gamawan Fauzi yang notebene Gubernur Sumbar, Lemkari pun tak mau kalah dengan melaksanakan ujian kenaikan tingkat yang diikuti oleh beberapa tokoh termasuk Ketua DPRD Sumbar Leonardy Harmaini.

Jujur saja, saya kadang tertawa dan kadang sedih melihat fenomena yang terjadi pada kedua perguruan karate ini. Saya bahkan jadi lebih sedih ketika perseteruan keduanya justru sudah melibatkan tokoh-tokoh utama negeri ini. Kok bisa-bisanya keadaan jadi memburuk seperti itu. Sebab kalau persiteruan – siapa pun pihaknya – apabila telah melibatkan tokoh-tokoh utama negeri ini – nuansa yang terbaca di sini mungkin salah-satunya mengarah kepada nuansa politis. Apalagi jika itu dikaitkan dengan pemilihan gubernur Sumbar beberapa waktu lalu, dimana antara Gamawan Fauzi dan Leonardy juga saling bersaing untuk menjadi orang nomor satu di Ranah Minang ini.

Saya bukan ingin menyimpulkan bahwa antara Gamawan dan Leonardy masih terdapat rasa persiteruan seperti saat pemilihan gubernur dulu. Tapi justru kalau kondisi seperti saat ini – dimana keduanya ikut terlibat persiteruan Lemkari vs Inkanas – tak pelak siapa pun mungkin bisa menyimpulkan bahwa persiteruan itu tetap ada. Paling tidak, bila keduanya tidak menyadari bahwa keikut-sertaaan berada di belakang perguruan karate itu juga berarti bahwa mereka telah saling memelihara rasa persiteruan lama mereka, maka mungkin sebenarnya mereka sudah terjebak untuk tetap memelihara rasa persiteruan itu. Sebab bila rasa persiteruan itu tetap terpelihara, suasananya mungkin akan bisa merembes kepada hal-hal lain.

Kondisi inilah yang membuat saya gamang. Saat mana Sumatera Barat kini sedang melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, justru ada api dalam sekam yang sesekali siap membakar, jika kondisi persiteruan di atas tetap terpelihara. Sebab, bila dua tokoh yang akan menentukan arah masa depan Sumbar ini telah ada bibit persiteruan, bagaimana akan bisa diambil kesepakatan.

*****************

Mari kita kembali ke dasar persoalan, yakni persiteruan antara Lemkari dan Inkanas. Sebenarnya apa sih yang ingin dicapai dari persiteruan itu? Jika mau jujur, inti masalahnya paling hanya karena keduanya sama mengejar gengsi dan pengakuan dari yang lain bahwa mereka jauh lebih besar? Kalau hanya itu, saya merasa keduanya sungguh berpikir picik. Sebab inti dari sebuah pengakuan bukanlah terletak pada besar dan banyaknya anggota perguruan itu. Tapi sebaliknya, sampai sejauh mana perguruan itu mampu memberikan prestasi terbaiknya bagi negeri ini.

Terlebih lagi bila kita kembali melihat ke belakang. Lemkari dan Inkanas pada dasarnya mungkin sama dengan dua anak dari satu ibu yang terpaksa memilih jalan masing-masing karena perbedaan prinsip. Terlepas dari apa pun prinsip yang menjadi perbedaan itu, rasanya sangat tidak tepat kalau perbedaan itu akan menjadi pemicu dari persiteruan yang lain. Apalagi kalau sudah melibatkan para pengambil keputusan di negeri ini. Menurut saya alangkah sangat arif, kalau keduanya – Lemkari dan Inkanas – saling berlapang dada dengan keberadaan masing-masing. Artinya, kalau memang sudah memilih jalan masing-masing ya sudahlah. Tugas sekarang adalah bagaimana memajukan prestasi karate di daerah ini. Apalagi dalam waktu dekat juga akan ada PON. Ketimbang bersaing dalam hal-hal yang tak jelas muaranya, sebaiknya mari berkarya di PON nanti. Mari buktikan pada masyarakat bahwa karate Sumbar bisa mendulang banyak medali emas. Jika itu tercapai, nilainya jelas akan lebih prestisius dan hebat ketimbang memikirkan perguruan saya lebih hebat dari perguruan si anu, atau anggota saya lebih banyak dari anggota si anu.

Saya rasa, baik Lemkari maupun Inkanas – plus tokoh-tokoh utamanya – pasti sepakat dengan hal ini. Bagaimana mewujudkan niat mencapai prestasi terbaik Sumbar di PON nanti, saya rasa itu sudah merupakan langkah berikut yang bisa dibicarakan kemudian.Mudah-mudahan memang demikian. Ossh.. (*Penulis adalah pengamat dan wartawan olahraga)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Perbedaan adalah hal yang wajar, jadikanlah sebagai warna dalam kehidupan. Bukan menjadi pemicu persaingan apalagi permusuhan. Sebagai Karateka hendaklah menjiwai Karatedo.
Jika mau memaknai Do sesuai ajaran Gichin Funakoshi, Karate akan melahirkan Karateka berjiwa luhur