22 Februari 2008
21 Februari 2008
THE KMER’S
Merubah Budaya Penonton Padang
“Kami sangat menyadari hal itu। Bahkan sampai saat ini, kedua budaya yang telah melekat pada penonton Padang masih belum sepenuhnya dapat kami rubah,” ujar Musa Adiguna, Ketua I
The Kmer’s.
Pendirian Tke Kmer’s sendiri diawali dengan diadakannya diskusi di Ruang Rapat Lt. III Gedung PT. Semen Padang. Sebagai pembicaraa dalam diskusi itu adalah Ketua Bidang Promosi dan Marketing PS. SP Ir. Toto Sudibyo dan koresponden Tabloid BOLA Padang N. Nofi Sastera. Dari makalah yang dibacakan Nofi pula tantangan soal merubah budaya penonton Padang itu terungkap. Itu pula yang menyebabkan Nofi secara aklamasi ditunjuk menjadi Ketua The Kmer’s saat itu.
Tapi karena kesibukan, Nofi kemudian mengundurkan diri dari jabatan itu, meski ia tetap membantu sampai The Kmer’s bisa on the road. Kepemimpinan The Kmer’s akhirnya dilanjutkan Ir Afrizal seorang tokoh pemuda dan Ketua Gerakan Mahasiswa Kosgoro Sumatera Barat. Setahun belakangan, Afrizal digantikan oleh Yudhi Bharata Tiger, juga seorang tokoh pemuda yang aktif di organisasi Pemuda Pancasila dan pemilik sasana tinju Tiger Boxing Club. Di tahun ketiga usianya jabatan Ketua The Kmer’s dijabat Musa Adiguna alias Moses, yang sebelumnya juga telah aktif sebagai salah satu Ketua
Kembali kepada budaya penonton Padang di atas, wajar pula bila salah satu tekad pengurus The Kmer’s yang sampai saat belum tercapai adalah memerahkan stadion H. Agus Salim Padang. “Yang terberat adalah merubah budaya penonton Padang yang terkenal sportif dan lebih suka memihak kepada tim yang bermain bagus. Karena itu pula banyak di antara mereka yang kemudian enggan memakai baju merah, sebagaimana halnya ciri khas tim Kerbau Merah,” tambah Yudhi.
Namun begitu baik Yudhi, Musa Adiguna maupun pengurus The Kmer’s lainnya bertekad akan terus berupaya mewujudkan tekad tersebut. “Selain itu tentu juga untuk pengembangan fungsi korwil dan menjadikan The Kmer’s sebagai suatu komunitas pecinta PS. Semen Padang yang berkarakter cinta damai, sopan, dan selalu menjunjung tinggi sportivitas olahraga, khususnya sepakbola. Satu lagi yang pasti tentu juga kami ingin menjadi fans club nomor satu di Sumatera,” tambah Musa. (N. Nofi Sastera)
Nama Kelompok Suporter : THE KMER’S (Kerbau Merah Mania)
Berdiri : 14 November 2001
Penasehat : Ir. Toto Sudibyo, N. Nofi Sastera, Ir. Afrizal
Penanggungjawab : Ir. Asdian, ST
Jumlah Korwil : 14 wilayah
Jumlah Anggota : 2500 orang
Ketua Umum : Yudhi Bharata Tiger
Wakil Ketua : Musa Adiguna
Sekretaris Umum : Khatul A
Wakil Sekretaris : H. Iswandel
Bendahara : Febby Valentine
Koordinator-koordinator :
Atraksi : Ihsan, Anggota : Rivo
Keanggotaan : Ricki Carsian, Anggota : Isrin
Dana & Usaha : Dede Amri, Anggota : Dafris Susandra
Perlengkapan : Herman T, Anggota : Rori Gulanda
Keamanan : Idrijal Wahid, Anggota : Afrijon
Pernak-pernik The Kmers
Berdiri pada 14 November 2001 dengan jumlah anggota 1.500 orang pada akhir musim kompetisi.
· Berada di bawah manajemen PS. Semen Padang di bawah Ketua II PS. Semen Padang, yaitu Ir. Toto Sudibyo.
· Pada tahun 2003 ini, anggota The Kmers dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 40.000 per orang dan dikenakan iuran pembelian tiket Rp. 3000,- per orang dalam setiap pertandingan home.
· Tahun 2003 ini juga, The Kmers melakukan kerjasama dengan Event Organizer Polos Production yang diketuai oleh Raynold Fadly yang membantu tugas The Kmers di bidang administrasi, penyediaan atribut dan sponsorship.
· Dalam pelaksanaan atraksi, The Kmers juga dibantu oleh Manching Band Karang Putih Semen Padang.
· Target utama The Kmers adalah memerahkan stadion H. Agus Salim
· Informasi mengenai PS. Semen Padang dan The Kmers dapat juga dilihat di www.the-kmers.org. (nof)
Manajemen SP, Profesional-lah!
Ulasan Khas : N. Nofi Sastera*
Jika melihat kondisi saat itu mungkin tak satu pun yang menganggap hal itu tak mungkin. Sebab dengan manajemen baru yang dipimpin langsung oleh seorang Direktur jelas akan banyak kemudahan dari pengurusan tim dari sisi birokrasi. Tak salah pula jika budget dana yang tahun sebelumnya hanya sekitar Rp 3,5 milyar tiba-tiba-tiba meningkat drastis, khabarnya jadi Rp 8 M. Selain itu dikontraknya empat pemain asing plus peningkatan nilai salary pemain juga menunjukkan bahwa betapa pedulinya manajemen baru terhadap tim.
Tapi apa yang terjadi ketika kompetisi telah berlangsung? Manajemen yang semuanya nyaris serba baru memang tetap dengan komitmen awalnya, yakni sangat peduli dengan tim. Bahkan saking over pedulinya, sejumlah manajemen yang selama ini hanya jadi Pembina Tim, ikut langsung terjun ke lapangan memberi masukan. Saya percaya, apa yang dimaksudkan para petinggi PT. SP ini adalah baik. Mereka ingin berbuat dan memberi sesuatu yang mereka miliki untuk tim ini. Tapi, apakah hal ini bermanfaat atau justru sebaliknya, saya juga kurang tahu persis.
Yang terjadi di lapangan justru bertolak belakang dengan harapan yang ada. Tim terus menerus gagal, gagal dan gagal. Dari enam partai home, SP hanya satu kali menang, empat seri dan satu kalah. Sedang di enam partai away SP hanya satu seri dan enam kali kalah. Dengan hasil seperti itu tak heran bila berbagai kecaman bermunculan. Jangankan penonton awam yang hanya tahu dengan hasil akhir, para pakar sepakbola yang lebih jeli melihat masalah juga takkan mampu mencarikan pembelaan apa pun terhadap tim. Mungkin benar, terror penonton
Benar bahwa sebelum partai away melawan PSS manajemen SP sempat menambah tiga pemain lagi yakni gelandang Patricio Jimenez Diaz, stopper Rahman Firmansyah dan kiper Iswandi. Tapi ketika solusi itu juga tidak mengurangi masalah - karena masalah utamanya menurut saya memang bukan hanya itu – kenapa tak ada langkah berikut yang dilakukan manajemen SP? Kalau kemudian ada masyarakat awam yang menilai bahwa sikap ini sengaja dilakukan agar SP degradasi untuk kemudian dibubarkan, apakah itu salah?
Profesionalitas
Sebenarnya, yang harus sama-sama dipahami terlebih dahulu adalah bahwa tim SP ini adalah tim profesional. Sebagai tim profesional, ukuran utama yang dipakai pasti adalah prestasi. Artinya, dalam kesempatan apa pun, manajemen pasti akan melihat sesuatu dari sudut prestasi. Apakah dalam hal menetapkan berapa salary yang berhak diterima seorang pemain atau pun bahkan dalam melakukan pemecatan.
Artinya, kalau memang seseorang pemain, pelatih atau bahkan seorang manajer sudah dianggap tidak berprestasi lagi, berarti, ia sudah harus siap-siap untuk angkat kaki dari tim itu. Lihat saja beberapa contoh pada tim-tim professional di liga internasional maupun lokal. Tak usah melihat terlihat jauh, di Persija misalnya, sudah terjadi beberapa kali pergantian manajer. Mulai dari era Ahmadin Ahmad kepada Ronny Pangemanan. Bahkan di tahun dan kompetisi yang sama Ropan, sapaan Ronny Pangemanan, diganti lagi dengan IGK Manila. Di PSPS Pekanbaru juga pernah terjadi pergantian pelatih di tahun dan kompetisi yang sama. Ketika Sofyan Hadi dianggap tak lagi mampu mengangkat nasib tim, ia kemudian digantikan Jenniwardin. Berbagai contoh lain, saya rasa sudah banyak.
Kembali kepada tim SP, apakah SP juga memakai ukuran ini? Saya tidak tahu persis. Sebab sudah 12 kali pertandingan dengan hasil hanya 1 menang, 5 seri dan 6 kalah, tim SP masih itu ke itu saja. Jujur saja, saya di sini bukan bermaksud ingin mendikte manajemen SP untuk meminta pergantian pelatih, atau pergantian manajer. Tapi jika memang itu sudah harus – dalam arti kata sesuai prinsip dasar professional seperti disebut di atas – apa salahnya. Mungkin banyak yang ragu atau malah balik bertanya, apakah dengan pergantian itu akan menjamin prestasi lebih baik? Tapi jika memang itu pertanyaan, kita pun juga akan balik bertanya. Apakah kita akan terus berkutat dengan keragu-raguan seperti itu terus? Sementara posisi tim SP makin terus melorot dari pertandingan ke pertandingan.
Pelatih SP Suhatman Imam sendiri setahu saya bukanlah pelatih egois untuk terus mempertahankan kursinya. Sebab, seperti diungkapkannya di kamar ganti pemain usai SP ditahan Persijatim 1-1 di Agus Salim, ia siap untuk mengundurkan diri. “Saya ndak tahu apa yang terjadi di tim ini sekarang ini. Serangan banyak, tapi gol susah betul. Mungkin saya yang sial Nof. Karena itu, jika harus mundur dari tim ini, saya siap,” katanya memelas. Bahkan setelah itu saya lihat sendiri Suhatman juga sempat melontarkan niat mundurnya pada Pembina SP Ismet Yuzairi yang juga Komisaris Utama PT. SP. Tapi permintaan Suhatman saat itu ditolak secara halus.
Terlepas dari penolakan pengunduran dirinya, tampak bahwa sebenarnya Suhatman bukanlah type manusia yang ingin terus bertahan. Ia sadar bahwa sesuatu itu tak mungkin dipaksakan. Nah, jika sekarang ia terus dipaksakan manajemen untuk terus bertahan, masihkah kita akan menyalahkan Suhatman?
Sekali lagi saya justru melihat manajemen SP yang tidak professional dalam hal ini. Apa mungkin mereka tak punya ukuran profesional sebagaimana disebutkan di atas? Entahlah. Yang pasti waktu istirahat kompetisi selama Pemilu menurut saya adalah waktu yang sangat tepat bagi manajemen SP untuk menentukan sikap. Bahkan jika memang masih ragu, ndak ada salahnya diadakan diskusi dengan semua pihak yang peduli, semisal wartawan olahraga, para pakar sepakbola, atau mungkin juga bahkan dengan pengurus SP yang lama. Siapa tahu dari diskusi itu akan didapatkan sejumlah masukan yang berharga.
Bagaimana pun, kita semua termasuk pencandu sepakbola di Sumatera Barat ini tak ingin SP degradasi. Tinggal kini bagaimana manajemen menyikapi sikap masyarakat ini sebagai sebuah power yang besar untuk sama-sama membangun dan membesarkan SP. Karena itu mari bersikap professional dengan melupakan masa lalu. Sebaliknya kita tatap masa depan yang lebih baik. Ayo SP, kamu bisa! (Penulis adalah wartawan dan pengamat sepakbola)
Note : Dimuat Harian Pos Metro
Di Balik Keikut-sertaan Gamawan Ujian DAN Karate
Catatan : N. Nofi Sastera*
Keikut-sertaan Gamawan Fauzi – yang notabene Gubernur Sumatera Barat – ikut ujian kenaikan tingkat dari sabuk coklat ke sabuk hitam pada perguruan karate Inkanas (Institut Karate Nasional) sudah pasti menimbulkan berbagai asumsi. Secara seloroh, keikut-sertaannya menyiratkan bahwa Gubernur kita ini bukanlah orang lemah atau orang yang bisa ‘diago’ begitu saja. Terbukti, dengan sabuk hitam yang sekarang dimilikinya, itu berarti bahwa Gamawan adalah seorang karateka yang berisi karena sudah menjadi anggota majelis sabuk hitam, kelompok orang-orang yang sudah layak menjadi senpay (pelatih) di dunia karate.
Catat pula, bahwa sabuk hitam atau DAN I yang diperoleh Gamawan bukanlah merupakan gelar honoris causa seperti yang diistilahkan Drs. Djafar E Djantang, karateka DAN VI anggota Dewan Guru PB. Inkanas. “Tapi beliau mendapatkannya betul-betul dengan perjuangan sebagaimana layaknya karate lain mendapatkan. Jujur saja saya salut dengan Beliau. Sebagai anggota Dewan Guru di PB. Inkanas saya juga bangga karena inilah untuk pertama kalinya saya menguji murid istimewa berjabatan Gubernur. Dan ini jelas sejarah,” ujar Djafar.
Soal keabsahan (bukan honoris causa) gelar DAN I yang sekarang dimiliki Gamawan Fauzi menurut H. Hadismar M. Noer, karateka DAN V yang juga pendiri dan anggota Dewan Guru PB. Inkanas adalah murni. “Meski sudah 25 tahun tidak berlatih rutin, tapi saya salut dengan speed dan power serta kemantapan gerakan Pak Gamawan. Tendangannya juga oke dan cepat. Sebagai urang rantau saya jelas bangga karena Gubernur di kampung saya adalah orang hebat dan memiliki semangat bushido yang tangguh. Masyarakat Sumatera Barat sendiri harusnya ikut bangga dengan ini,” ujar putra Batu Manjulua Padang Sibusuk Sawahlunto yang kini berdomisili di kota Medan.
Soal kelayakan Gamawan memakai sabuk DAN I ini juga dipertegas Ketua Dewan Guru PB. Inkanas Ir. Sempei Garang M.Eng yang langsung memimpin ujian kenaikan tingkat Gamawan Jumat malam lalu di Gubernuran. “Meski di kata (peragaan jurus) memang ada kekurangan, tapi itu wajar karena Beliau sudah 25 tahun tidak rutin berkarate. Namun pada kumite (pertarungan) serta speed dan power jujur saya kami para penguji harus salut dengan Beliau. Bahkan dibanding anggota Dewan Guru yang jadi pendamping Beliau saat ujian, speed dan power Pak Gamawan jauh lebih baik. Rasanya tak ada alasan bagi kami untuk tidak meluluskannya. Catat, ini bukan karena Beliau Gubernur. Tapi memang karena Beliau memang pantas untuk menjadi pemegang DAN I tersebut,” tegas Sempei Garang, sesaat setelah Gamawan selesai ujian.
Motivasi Ketua KONI
Kembali ke asumsi orang terhadap keikut-sertaan Gamawan mengikuti ujian DAN tersebut. Selain seloroh sebagaimana disebut di atas, berbagai komentar lain tentu juga muncul. Beragam, pasti. Bangga, senang atau sinis dan marah, bukan tak mungkin muncul di antara asumsi-asumsi di atas. Tapi, sebenarnya apakah yang menjadi latar belakang seorang Gamawan mengikuti ujian kenaikan tingkar di olahraga beladiri karate ini?
Ternyata bukan karena ingin gagah-gagahan atau ingin pamer bahwa Gubernur Sumbar seorang karateka DAN I. “Sebagai Ketua KONI Sumbar, saya hanya ingin memberi motivasi kepada semua atlit daerah ini bahwa jika saya yang sudah limapuluh tahun ini masih punya semangat untuk berprestasi, kenapa mereka yang sekarang dalam usia emas tidak. Tegasnya, saya ingin agar para atlit Sumatera Barat juga punya semangat bushido seperti saya ini sehingga bisa berprestasi baik di PON nanti,” ujar Gamawan.
Bukan main. Sebagai orang yang bertanya langsung kepadanya Jumat malam di Gubernuran itu, saya jelas sangat terkesan dengan jawaban Gamawan. Jawaban di atas sepertinya membuka mata kita semua untuk jangan terlalu cepat berprasangka. Sebab, sebagaimana disebut di atas, bahwa berbagai asumsi dan komentar boleh saja muncul. Tapi ketika Gamawan telah memberi jawaban, harusnya sisi inilah yang pantas diperhatikan. Ya, niat dan tekad tulus dari Ketua KONI Sumbar untuk memberi motivasi kepada para atlit di daerahnya.
Ini menurut saya juga sudah merupakan isyarat kepada pengurus KONI dan semua Pengda organisasi olahraga di daerah ini untuk menjadikan semangat bushido sebagai salah satu bentuk kampanye Sumbar menghadapi PON mendatang. Bahwa di balik semua keterbatasan dan kekurangan yang kita miliki, tapi jika kita mau, jika kita punya semangat membara, tak ada yang tak bisa. Termasuk jika di PON nanti Sumbar ingin memperbaiki peringkat. Tak ada yang tak bisa untuk itu. Karena semua tak hanya bisa dilihat dari sisi kurangnya, tapi lihatlah dari sisi motivasi kita untuk menjadi yang terbaik. Ya, kalau kita mau, tak ada yang tak bisa. Bukan begitu Pak Gamawan? (Penulis adalah wartawan dan pengamat olahraga)
LEMKARI vs INKANAS = Ketua DPRD vs Gubernur?
Oleh : N. Nofi Sastera*
Judul di atas secara sepintas mungkin bisa dinilai berlebihan. Sebab masa hanya karena karate, dua tokoh utama Sumbar harus berlawanan sebagaimana bersiterunya Lemkari vs Inkanas. Tapi jangankan salahkan dulu judul di atas. Masyarakat awam – yang hanya melihat sesuatu berdasar apa yang tampak – justru melihat ada kebenaran dari judul di atas. Paling tidak, kedua tokoh utama Ranah Minang ini seperti sengaja dijadikan ikon utama persiteruan Lemkari dengan Inkanas.
Terbukti, mereka memang melihat dan membaca di berbagai media massa bahwa keduanya ikut menjadi tokoh utama dalam persiteruan Lemkari dengan Inkanas.
Persiteruan Lemkari dan Inkanas itu sendiri memang bukan hal asing lagi. Keduanya saling berlomba membuat kegiatan, meski sayangnya kegiatan itu cenderung terlihat kekurangan ide. Sebab – apa pun kegiatan yang dilakukan – motifnya nyaris sama. Sebagai contoh Inkanas mengadakan Gashuku Wilayah, Lemkari pun melaksanakannya. Inkanas mengadakan ujian kenaikan tingkat yang salah-satunya diikuti Gamawan Fauzi yang notebene Gubernur Sumbar, Lemkari pun tak mau kalah dengan melaksanakan ujian kenaikan tingkat yang diikuti oleh beberapa tokoh termasuk Ketua DPRD Sumbar Leonardy Harmaini.
Jujur saja, saya kadang tertawa dan kadang sedih melihat fenomena yang terjadi pada kedua perguruan karate ini. Saya bahkan jadi lebih sedih ketika perseteruan keduanya justru sudah melibatkan tokoh-tokoh utama negeri ini. Kok bisa-bisanya keadaan jadi memburuk seperti itu. Sebab kalau persiteruan – siapa pun pihaknya – apabila telah melibatkan tokoh-tokoh utama negeri ini – nuansa yang terbaca di sini mungkin salah-satunya mengarah kepada nuansa politis. Apalagi jika itu dikaitkan dengan pemilihan gubernur Sumbar beberapa waktu lalu, dimana antara Gamawan Fauzi dan Leonardy juga saling bersaing untuk menjadi orang nomor satu di Ranah Minang ini.
Saya bukan ingin menyimpulkan bahwa antara Gamawan dan Leonardy masih terdapat rasa persiteruan seperti saat pemilihan gubernur dulu. Tapi justru kalau kondisi seperti saat ini – dimana keduanya ikut terlibat persiteruan Lemkari vs Inkanas – tak pelak siapa pun mungkin bisa menyimpulkan bahwa persiteruan itu tetap ada. Paling tidak, bila keduanya tidak menyadari bahwa keikut-sertaaan berada di belakang perguruan karate itu juga berarti bahwa mereka telah saling memelihara rasa persiteruan lama mereka, maka mungkin sebenarnya mereka sudah terjebak untuk tetap memelihara rasa persiteruan itu. Sebab bila rasa persiteruan itu tetap terpelihara, suasananya mungkin akan bisa merembes kepada hal-hal lain.
Kondisi inilah yang membuat saya gamang. Saat mana Sumatera Barat kini sedang melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, justru ada api dalam sekam yang sesekali siap membakar, jika kondisi persiteruan di atas tetap terpelihara. Sebab, bila dua tokoh yang akan menentukan arah masa depan Sumbar ini telah ada bibit persiteruan, bagaimana akan bisa diambil kesepakatan.
*****************
Mari kita kembali ke dasar persoalan, yakni persiteruan antara Lemkari dan Inkanas. Sebenarnya apa sih yang ingin dicapai dari persiteruan itu? Jika mau jujur, inti masalahnya paling hanya karena keduanya sama mengejar gengsi dan pengakuan dari yang lain bahwa mereka jauh lebih besar? Kalau hanya itu, saya merasa keduanya sungguh berpikir picik. Sebab inti dari sebuah pengakuan bukanlah terletak pada besar dan banyaknya anggota perguruan itu. Tapi sebaliknya, sampai sejauh mana perguruan itu mampu memberikan prestasi terbaiknya bagi negeri ini.
Terlebih lagi bila kita kembali melihat ke belakang. Lemkari dan Inkanas pada dasarnya mungkin sama dengan dua anak dari satu ibu yang terpaksa memilih jalan masing-masing karena perbedaan prinsip. Terlepas dari apa pun prinsip yang menjadi perbedaan itu, rasanya sangat tidak tepat kalau perbedaan itu akan menjadi pemicu dari persiteruan yang lain. Apalagi kalau sudah melibatkan para pengambil keputusan di negeri ini. Menurut saya alangkah sangat arif, kalau keduanya – Lemkari dan Inkanas – saling berlapang dada dengan keberadaan masing-masing. Artinya, kalau memang sudah memilih jalan masing-masing ya sudahlah. Tugas sekarang adalah bagaimana memajukan prestasi karate di daerah ini. Apalagi dalam waktu dekat juga akan ada PON. Ketimbang bersaing dalam hal-hal yang tak jelas muaranya, sebaiknya mari berkarya di PON nanti. Mari buktikan pada masyarakat bahwa karate Sumbar bisa mendulang banyak medali emas. Jika itu tercapai, nilainya jelas akan lebih prestisius dan hebat ketimbang memikirkan perguruan saya lebih hebat dari perguruan si anu, atau anggota saya lebih banyak dari anggota si anu.
Saya rasa, baik Lemkari maupun Inkanas – plus tokoh-tokoh utamanya – pasti sepakat dengan hal ini. Bagaimana mewujudkan niat mencapai prestasi terbaik Sumbar di PON nanti, saya rasa itu sudah merupakan langkah berikut yang bisa dibicarakan kemudian.Mudah-mudahan memang demikian. Ossh.. (*Penulis adalah pengamat dan wartawan olahraga)
Terbaik!
Oleh : N. Nofi Sastera
Dalam rangka memperingati Hari Olahraga Nasional tahun ini, Pemda Sumatera Barat dan Kota Padang, bekerja sama dengan KONI dan lembaga yang mengurus pemuda dan olahraga setempat telah memberi penghargaan untuk sejumlah pelaku olahraga. Mulai dari atlet, pelatih, pembina, cabang olahraga, wartawan olahraga dan ilmuwan olahraga. Kriteria dasar pemilihan itu pasti adalah karena person-person yang diberi penghargaan merupakan terbaik di bidangnya.
Pertanyaannya sekarang, apakah mereka yang sudah mendapat penghargaan itu benar-benar terbaik di bidangnya? Betul-betul pantaskah mereka yang diberi penghargaan itu menerima penghargaan sebagai yang terbaik di atas?
Saya lalu ingat dan langsung salut dengan pernyataan Zulfidarni, atlet bowling Sumbar yang kini berada di Pelatnas, yang kebetulan pada peringatan Haornas Sumbar 9 September lalu di Stadion Imam Bonjol Padang menerima penghargaan sebagai salah satu atlet terbaik. “Jujur saja, Eni belum merasa pantas menerima penghargaan ini. Sebab kalau pun Eni pernah mendapat perunggu PON dan kini masuk Pelatnas, rasanya masih banyak yang lebih pantas menerima penghargaan ini,” ujar atlit yang juga isteri dari mantan kiper Semen Padang, Trisno Affandi ini sesaat setelah menerima piagam penghargaan dan uang pembinaan.
Saya lalu teringat dengan ucapan Walikota Padang Fauzi Bahar yang teramat sering mengatakan hal ini saat melepas atlit ataupun tim olahraga ke iven yang diikuti. “Yang terbaik itu hanya yang nomor satu. Nomor berikut belumlah yang terbaik,” tegasnya.
Berdasar dua pendapat di atas, tentu saja pertanyaannya terpulang kepada mereka yang telah diberi kepercayaan untuk memilih orang-orang terbaik di atas. Sudah benarkah hasil pemilihan yang dilakukan? Sudah layak dan pantaskah orang yang mereka pilih untuk menyandang gelar sebagai yang terbaik di atas? Apakah tidak mungkin terjadi kolusi dan nepotisme dalam pemberian penghargaan kepada orang yang sebenarnya belum pantas?
Menurut saya ada dua hal penting yang harus digaris-bawahi jika ingin memberikan atau memilih yang terbaik dari apa pun bidangnya. Pertama adalah tentang kuantitas atau jumlah person yang menerima penghargaan itu. Seperti yang dikatakan Walikota Padang Fauzi Bahar di atas, bahwa yang terbaik itu hanyalah peringkat satu atau maksimal sampai peringkat tiga di tiap kelas atau kelompok yang diperebutkan. Ini penting, agar yang terpilih itu betul-betul orang telah terseleksi secara ketat dan melalui kriteria yang jelas. Sehingga ketika penghargaan atau hadiah diberikan, nilainya juga akan terasa lebih berkesan ketimbang kalau yang terbaik itu berpuluh banyaknya.
Saya mungkin kurang paham ketika melihat pemberian hadiah di acara Haornas 9 September lalu di Imam Bonjol. Apakah pemberiaan hadiah itu hanya untuk sekedar menghargai yang telah berprestasi atau karena mereka memang yang terbaik. Sebab kalau hanya untuk menghargai yang berprestasi, mungkin jumlah yang menerima saat itu masih kurang karena masih banyak lagi yang pantas menerimanya. Tapi kalau memang yang menerima penghargaan saat itu adalah benar-benar mereka yang terbaik di bidangnya, mungkin jumlahnya saya rasa sangat tidak pantas. Sebab, untuk kelompok atlit misalnya, jumlahnya sangat banyak sekali. Ada yang peraih medali PON, ada yang di Pelatnas, ada yang juara POPNAS, POMNAS, atau yang berprestasi internasional. Di tingkat pelatih juga begitu. Pertanyaannya, siapa yang betul-betul terbaik di antara mereka? Sebab berkaca dari berbagai pemilihan yang dilaksanakan oleh pihak-pihak lain, yang terbaik itu memang hanya satu, atau maksimal tiga sesuai dengan urutan keterbaikannya.
Hal kedua yang erat kaitannya dengan yang pertama adalah soal kriteria pemilihan karena ini akan berhubungan dengan kualitas person yang dipilih, atau tepat tidaknya orang yang diberikan penghargaan. Sebab kalau kriterianya hanya nepotisme, bisa saja yang dipilih adalah orang yang mungkin belum pantas menerima penghargaan itu. Jika itu yang terjadi jangan salahkan niat baik untuk memberikan penghargaan akan menuai cemoohan dari pihak-pihak lain.
Terlepas dari masih belum sempurnanya metoda atau cara pemilihan yang telah dilakukan, saya pribadi menyambut gembira dan berterima kasih atas telah munculnya usaha-usaha untuk menghargai jasa dan pengabdian dari sejumlah orang yang telah memberikan kebanggaan kepada daerah ini. Sebab upaya ini tidak hanya akan menjadi bukti bahwa pemerintah peduli, tapi juga akan memberi motivasi baru bagi setiap person untuk berlomba-lomba jadi yang terbaik. Untuk itu tak salah bila saya juga mengucapkan selamat untuk hal ini. Semoga ke depan, upaya ini akan lebih baik lagi, dan lebih sempurna lagi dengan metoda dan cara pemilihan yang tepat. Sehingga yang terpilih adalah betul-betul orang yang pantas menerimanya.
Semoga. (Penulis adalah pemerhati, pelaku dan wartawan olahraga)